Bertandang ke Pulau Dewata, mata kita tidak hanya dimanjakan lanskap alam yang memukau, tapi juga tradisi yang masih dijaga dengan sangat baik. Memiliki kebudayaan yang sangat kaya, arsitektur rumah adat Bali juga memiliki filosofi begitu dalam pada setiap elemennya.
Salah satunya dikenal dengan istilah Asta Kosala Kosali yang merupakan konsep penataan bangunan. Konsep ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, tepatnya pada abad ke-9. Hal ini terbukti dari Prasasti Bebetin Berangka 818 Saka (896 M), prasasti yang ditemukan di desa Bebetin, Bali.
Konsep Asta Kosala Kosali merupakan peninggalan leluhur masyarakat Bali yang harus dipahami dan dipatuhi oleh para arsitek atau dalam istilah setempat dikenal dengan undagi. Asta Kosala Kosali mengatur penempatan bangunan didasarkan pada anatomi tubuh manusia. Dalam hal ini, pengukuran anatomi yang digunakan adalah pemilik rumah yang akan menempati bangunan tersebut. Tidak hanya itu, para undagi juga harus memahami tentang penempatan bangunan dan posisi lahan yang baik.
Baca Juga:
Basilika Santa Maria, Tempat Pembaringan Terakhir Paus Fransiskus yang Mempesona
Tak Mencolok Seperti Pada Umumnya, Masjid Sancaklar di Turki Justru Tak Terlihat
Pengukuran Menggunakan Anatomi
Ada beberapa teknik yang digunakan untuk menata bangunan bedasarkan anatomi. Di antaranya Acengkang atau Alengkat yang merupakan cara pengukuran menggunakan ujung jari telunjuk dan ibu jari tangan yang sama-sama direntangkan. Masih menggunakan jari tangan, ada pula konsep pengukuran Aguli yang diukur dari ruas tengah dan jari telunjuk. Dikenal dengan nama Alek, teknik ini dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung ibu jari hingga ujung jari tengah. Sementara, Agamel menjadi pengukuran tradisional yang dilakukan dengan cara mengepalkan tangan.
Teknik pengukuran selanjutnya dikenal dengan nama Atapak Batis dan Atapak Batis Nyandang. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan panjang telapak kaki dan Atapak Batis Nyandang diukur selebar telapak kaki. Ada pula konsep Atengen Depa Agung dan Atengen Depa Alit. Pengukuran Atengen Depa Agung dilakukan dari pangkal lengan sampai ujung jari tangan yang direntangkan, sedangkan Atengen Depa Alit adalah ujung tangan dikepalkan.
Posisi Lahan dan Bahan Bangunan
Posisi rumah adat Bali tidak dibangun di sembarang tempat. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, konsep Asta Kosala Kosali juga mengatur tentang penempatan bangunan dan posisi tanah atau lahan yang baik. Ketika ingin membangun, sebaiknya posisi tanah miring ke arah kiri dengan bangunan lain atau rumah tetangga yang ada di arah utara memiliki posisi lebih tinggi.
Selain itu, ada baiknya jika terdapat aliran air di arah selatan, namun bukan dalam artian aliran air yang sangat deras. Sedangkan, lokasi tanah yang harus dihindari adalah ketika pintu keluar menghadap ke persimpangan jalan. Undagi juga tidak boleh membuat dua pintu masuk yang memiliki posisi berdampingan dengan tinggi sejajar.
Selain itu, posisi pintu masuk juga penting untuk mengundang Dewa Air sebagai sumber rejeki. Jika pintu masuk berjumlah lebih dari satu, maka lebar dan tinggi pintu masuk utama dengan pintu lain, dan tinggi lantai setiap ruang pun tidak boleh sama.
Menurut Asta Kosala Kosali, bangunan yang terletak di timur harus memiliki lantai lebih tinggi, karena dianggap sebagai arah yang disucikan. Sementara, letak dapur mesti berada di arah barat, karena sesuai dengan letak Dewa Api, dan sumur di timur atau utara dapur karena berpatokan dengan posisi Dewa Air.
Lokasi tanah yang dianggap kurang baik sebenarnya masih bisa digunakan setelah dilakukan upacara keagamaan terlebih dahulu. Selain itu, lokasi tersebut juga harus dibuatkan Palinggih atau tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Umumnya, Palinggih dapat ditemukan di pekarangan rumah atau Pura.
Baca Juga:
Keindahan Arsitektur Basilika Santo Petrus, Tempat Paus Fransiskus Memimpin Liturgi Semasa Hidup
Penggunaan Pilar Dalam Arsitektur Bangunan Bergaya Klasik
Di sisi lain, rumah adat Bali dikenal kental dengan nuansa alam dan kerap menggunakan kayu sebagai material bangunannya. Dalam hal ini, Asta Kosala Kosali juga memiliki referensi tersendiri dalam penggunaan kayu, karena setiap jenis kayu dianggap punya peran penting masing-masing dalam bangunan.
Salah satunya adalah jenis kayu suren yang umumnya digunakan untuk bagian dinding, karena ringan, kuat, dan memiliki sifat antirayap alami. Ada pula kayu jati yang cocok untuk tempat tidur, karena begitu kuat dan tidak mudah patah. Jenis kayu ini juga tahan terhadap rayap sehingga lebih tahan lama.
Selain berbagai jenis material kayu, dalam pemilihan bahan bangunan, Asta Kosala Kosali juga sangat selektif. Di antaranya adalah Nguringwapke atau memakai bekas bahan bangunan yang roboh tanpa sebab jelas. Sinar Begelap atau kayu yang diambil dari pohon yang tumbang akibat sambaran petir juga tidak disarankan untuk digunakan dalam proses membangun rumah. Tidak hanya itu, Anepiluwah atau menggunakan kayu yang berada di tepian sungai juga sangat dilarang. Material terakhir yang dilarang adalah Bhutagraha atau kayu yang diambil dari kuburan.